3 Sep 2019

Mempelajari Geometri dan Tata Ruang kota dalam Rencana Pemindahan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia




Introduction 
Lokasi Pusat pemerintahan negara republik Indonesia kembali mencuat ke permukaan saat presiden Joko Widodo melontarkan wacana tersebut ke publik di akhir bulan April 2018 lalu. Ide yang pertama kali muncul sejak April 2017 tersebut menjadi topik yang hangat saat Jakarta kembali di landa Banjir. Wacana pemindahan pust pemerintahan Indonesia, telah didiskusikan sejak keperesidenan Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno di tahun 1958 hingga isu tersebut menjadi perdebatan berlanjut pada 2010 yang didukung oleh presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono agar ibukota baru dipisah dari pusat ekonomi dan komersial dengan pusat politik dan administrasi Indonesia. Saat ini Jakarta dinilai sudah tidak layak untuk menjadi pusat pemerintahan karena menjadi sangat overpopulasi dan juga memiliki sejumlah masalah lingkungan seperti Banjir dan juga tingkat polusi udara yang sangat tinggi.

Ada berbagai pertimbangan untuk pemilihan ibukota negara, mulai dari letak dan lokasi yang strategis untuk pemerintahan, keadaan geologis, aman dari bencana alam, hingga syarat fisik dan ketersediaan lahan yang baik agar dapat menampung jalannya pusat pemerintahan. Syarat fisik dari sebuah kota menjadi sangat penting agar kota tersebut dapat berkembang menjadi ruang kota yang memiliki sistem pergerakan yang baik sehingga semua elemen kota dapat saling menunjang keberlangsungan kota tersebut. Cristopher Alexander dengan teori nya “a city is not a tree “, menjelaskan bahwa sebuah kota yang baik adalah kota yang memiliki bentuk struktur yang semilattice yaitu bentuk struktur ruang kota yang alami dan interkoneksi antara hubungan bentuk ruang yang tidak membatasi ruang gerak penggunanya (Alexander 1964). Idealnya, geometri sebuah kota adalah bentuk yang terhindar dari ruang-ruang yang terputus dan memiliki zona eksklusif yang memisahkan ruang-ruang di dalam kota tersebut. Dalam mempelajari geometri dan tata ruang kota tersebut diperlukan metoda yang cepat dan tepat untuk dapat membuat perbandingan antara kota-kota di Indonesia yang Ideal sebagai pusat pemerintah baru Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Contents (belajar dari ibukota negara lain) 
Pertanyaan paling mendasar pada pemindahan pusat pemerintahan Indonesia adalah dimanakah ibu kota baru Indonesia tersebut seharusnya berada?

DKI Jakarta saat ini sudah menjadi sebuah Megapolis dan merupakan salah satu kota terbesar di dunia. Meleburnya kota-kota satelit seperti Tangerang, Bekasi dan meluasnya batas kota Jakarta semakin memperumit efektifitas tata ruang kota Jakarta tersebut. DKI Jakarta dinilai sudah tidak layak lagi untuk menjadi kota pusat pemerintahan dimana 50% dari wilayah Jakarta masuk dalam kategori rawan terhadap banjit.. Ada banyak sekali pusat pemerintahan negara yang terpisah dengan pusat bisnis, seperti yang di contohkan di Amerikas Serikat terdapat Washington DC sebagai pusat pemerintahan dan New York sebagai kota pusat bisni ataupun seperti yang dicontohkan negara tetangga Malaysia dimana Kuala Lumpur sebagai pusat bisnis dan Putrajaya yang terpisah sebagai pusat pemerintahan yang di yang resmi beroperasi pada tahun 1999.

Kurangnya informasi dan akses untuk melakukan study komparasi mengenai geometri, street pattern, angularity mengenai ibukota negara baik di negara maju maupun negara berkembang menjadi permasalahan untuk membuat perbandingan dari ibukota negara yang ideal. Tantangan dalam melakukan riset komparasi tata ruang kota adalah metoda mengumpulkan data dengan cara tradisional dan terbatasnya sampel dan sumber data hingga membutuhkan waktu yang lama dalam mengkoleksi data tersebut. Dengan terbukanya big data yang dapat di akses secara online memudahkan peneliti untuk melakukan analisa data dengan lebih cepat dan tepat, metoda komparasi gemoetri dan tata ruang kota menjadi lebih mudah. Salah satu sumber data yang dapat diakses adalah dengan memanfaatkan Open Street Map / OSM, yaitu sebuah projek pemetaan yang dapat diakses oleh publik secara gratis dan menjadi sumber berharga dari data spasial kota-kota di dunia (Zielstra, Hochmair, and Neis 2013). OSM tersebut memiliki akurasi data yang sangat baik dan terus dalam proses perbaikan untuk menyediakan data open source yang berkualitas dan dapat dipertanggung jawabkan (Haklay 2010; Barron, Neis, and Zipf 2014; Girres and Touya 2010). Pada tahun 2018 Geoffrey Boeing mengembangkan sebuah perangkat lunak berbasis Python yang diberi nama OSMnx, yaitu sebuah program untuk memudahkan riset mengenai geometri dan mempelajari tata ruang seluruh kota di dunia (Boeing 2017b, 2017c, 2017a). Metoda mengumpulkan data dengan memanfaatkan openstreetmap memudahkan peneliti ruang kota untuk dapat memperoleh semua atribut kota dari geometri kota, tata ruang, lebar jalan, panjang jalan, persimpang dan berbagai atribut informasi yang tersimpan pada data tersebut.




Pada kasus perbandingan ibukota negara, saya melakukan penelitian gemoetri dari 6 buah ibukota negara yang representatif yaitu Washington DC Amerika Serikat, Putrajaya Malaysia, Ottawa Kanada, Brasilia Brazil, Canberra Australia dan Paris Perancis. Dalam mempelajari geometri dan tata ruang masing masing bentuk ibukota negara tersebut, dapat kita pelajari bahwa kota Washington DC dan Ottawa memiliki bentuk geometri yang lebih teratur dan pola jalan grid, sedangkan kota Brasilia, Canberra dan Paris memiliki bentuk yang lebih alami dan pola jalan sirkular.




Ada beberapa kandidat calon ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang muncul sebagai pertimbangan, dimana sebagian sudah ditinjau langsung oleh presiden Joko Widodo. Kota tersebut antara lain Palangkaraya Kalimantan Tengah, Mamuju Sulawesi Barat, Makassar Sulawesi Selatan, Palembang Sumatera Selatan, Maja Banten dan Banyuwangi Jawa Timur. Masih banyak sekali calon kandidat ibukota negara baru dengan berbagai pertimbangan dari letak yang strategis, berada di tengah-tengah Indonesia hingga letak ibukota negara baru yang tidak terlalu jauh dari DKI Jakarta untuk memudahkan proses transisi dan menghindari permasalahan jangkauan terhadap ibukota negara saat ini. Dengan menggunakan metoda komparasi pada OSMnx dapat kita lihat bahwa beberapa kota yang menjadi kandidat tersebut memiliki variasi yang sangat beragam seperti kota tua Palembang yang memiliki geomteri dan tata ruang dengan kompleksitas yang tinggi dan pola sirkular dan juga kota kota dengan pola tata ruang grid seperti Makassar, Maja dan Banyuwangi yang memiliki potensi pengembangan dengan orientasi yang lebih teratur.

Conclusion and recommendations 
Dalam memilih ibukota negara yang tepat, tentunya menjadi keputusan yang bijak apabila kita belajar dari negara lain, seperti adanya polemik dalam pengembangan Putrajaya dan Brasilia, dimana pengembangan ibukota negara tersebut justru memiliki permasalah dalam pengembangan ruang kota hingga memunculkan persoalan urban sprawl. Kasus Putrajaya dan Brasilia menjadi sangat menarik dan perlu dikritisi lebih mendalam agar Indonesia tidak terjebak di dalam masalah pengembangan ibukota negara yang sama. Belajar dari kota-kota di Amerika Serikat yang memiliki sejarah perkembangan kota yang sangat panjang menjadi menarik dengan memperhatikan pola perkembangan Mercantile city, hingga tata letak grid Jeffersonian yang banyak diterapkan pada perkembangan kota modern di Amerika Serikat dapat menjadi pembelajaran yang baik

Meskipun pemerintah belum secara resmi menentukan kandidat calon ibukota negara yang baru, namun sebagai peneliti sudah menjadi kewajiban kita untuk memberikan masukan yang ideal dan juga kriteria-kriteria yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

Referensi
Alexander, Christopher. 1964. “A City Is Not a Tree.” 1965.
Barron, Christopher, Pascal Neis, and Alexander Zipf. 2014. “A Comprehensive Framework for Intrinsic OpenStreetMap Quality Analysis.” Transactions in GIS 18 (6): 877–895.
Boeing, Geoff. 2017a. “Methods and Measures for Analyzing Complex Street Networks and Urban Form.” ArXiv Preprint ArXiv:1708.00845.
———. 2017b. “OSMnx: New Methods for Acquiring, Constructing, Analyzing, and Visualizing Complex Street Networks.” Computers, Environment and Urban Systems 65: 126–139.
———. 2017c. “Understanding Cities through Networks and Flows.”
Girres, Jean-François, and Guillaume Touya. 2010. “Quality Assessment of the French OpenStreetMap Dataset.” Transactions in GIS 14 (4): 435–459.
Haklay, Mordechai. 2010. “How Good Is Volunteered Geographical Information? A Comparative Study of OpenStreetMap and Ordnance Survey Datasets.” Environment and Planning B: Planning and Design 37 (4): 682–703.
Zielstra, Dennis, Hartwig H. Hochmair, and Pascal Neis. 2013. “Assessing the Effect of Data Imports on the Completeness of OpenStreetMap–AU Nited S Tates Case Study.” Transactions in GIS 17 (3): 315–334.



20 Nov 2013

7 qualities of “responsive environments”


buku yang sangat menarik untuk menciptakan lingkungan yang "bertanggung jawab"
The design of a place affects the choices people can make, at many levels:
  • Permeability: where people can go and where they cannot.
  • Variety: the range of uses available to people
  • Legibility: how easily people can understand what opportunities it offers
  • Robustness: the degree to which people can use a given place for different purposes.
  • Visual appropriateness: the detailed appearance of the place make people aware of the choices available.
  • Richness: people’s choice of sensory experiences
  • Personalization: the extent to which people can put their own stamp on a place.

sumber : http://nearfuturelaboratory.com/pasta-and-vinegar/2009/07/30/7-qualities-of-responsive-environments/

18 Sep 2013

Aplikasi Plesteran

Aplikasi Acian

Pemasangan Bata Ringan

all images are copyright of : muhammadfajriromdhoni@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Copyright 2021 muhammadfajriromdhoni. created by kreaSiguntang © by muhammadfajriromdhoni